Thursday, February 17, 2011

Skenario Tuberkulosis Paru

Batuk Lama

Seorang perempuan umur 50 tahun dating ke UGD RSU-FKUKI dengan keluhan sesak napas disertai hemoptoe. Sudah lebih dari tiga minggu penderita batuk, dan meriang, napsu makan berkurang sehingga berat badan menurun 5 kg. Pada malam hari penderita sering berkeringat yang berlebih sampai ganti baju.

Pada pemeriksaan fisik frekuensi pernapasan 40 kali per menit, suhu 37, 8 oC. paru kiri normal. Paru kanan tertinggal, vocal fremitus menurun, bagian paru atas redup, basal paru pekak. Bising napas dasar kanan atas vesikobronkial, bagian bawah bising napas lemah.

Pemeriksaan laboratorium LED meningkat, hitung limfosit meningkat. Foto thoraks tampak bayangan perselubungan homogeny dengan meniscus sign setinggi iga III kanan belakang.

Tugas :

Jelaskan apa yang terjadi dan bagaimana penatalaksanaan pada penderita ini?

Seven Jump

1. Kata Sulit

· Hemoptoe : Hemoptoe adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah atau sputum yang berdarah. Batuk darah adalah batuk yang disertai pengeluaran darah dari paru atau saluran pernapasan.

· Paru kanan tertinggal : pada tuberculosis paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit (paru kanan) jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Ketika menarik napas paru kanan tertinggal atau tidak mengembangkan dada tidak seperti paru kiri.

· Vocal fremitus : getaran yang teraba saat melakukan palpasi dada ketika pasien mengucap kan “sembilan Sembilan” atau “seven seven”.

· Vesikobronkial : kombinasi suara nada tinggi dengan inspirasi dan ekspirasi yang jelas dan tidak ada silent gaps.

2. Perumusan Masalah

1. Apa yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala (sesak napas, hemoptoe, batuk, dan meriang) pada pasien?

2. Mengapa pasien sering berkeringat pada malam hari?

3. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan?

4. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan laboratorium pasien?

5. Apa yang terjadi pada pasien?

6. Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit tersebut?

3. Curah Pendapat

1. Gejala-gejala yang dialami oleh pasien dikarenakan :

a. Sesak napas : pada keadaan masih ringan belum ada sesak napas. Sesak napas akan dirasakan apabila infiltrasi dari bakteri M. Tuberkulose telah meliputi setengah bagian paru.

b. Batuk dan Hemoptoe : batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Kemungkinan batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah peradangan bermula. Hemoptoe karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

c. Meriang atau demam tinggi : biasanya subfebril menyerupai influenza. Kadang mencapai 40-41oC. berat ringan demam tergantung dari daya tahan tubuh pasien erhadap infeksi kuman tuberculosis yang masuk.

2. Keringat pada malam hari atai hyperhidrosis : hiperhidrosis sekunder pada penderita TB Paru dapat terjadi akibat dari demam dari kelenjar keringat TBC yang terlalu aktif (American Academy of Dermatology).

3. Interpretasi dari pemeriksaan fisis :

a. Frekuensi napas 40 kali per menit : infeksi bakteri M. Tuberkulosis menimbulkan bintil-bintil pada dinding alveolus. Jika penyakit ini menyerang dan dibiarkan semakin luas, dapat menyebabkan sel-sel paru-paru mati. Akibatnya paru-paru akan kuncup atau mengecil. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya frekuensi napas.

b. Suhu 37.5 oC : disebabkan infeksi dari kuman M. Tuberkulosis, biasanyanya subfbril menyerupai influenza, hal ini yang menyebabkan banyak orang mengira hanya terkena influenza biasa. Tinggi rendahnya demam dipengaruhi daya tahan tubuh terhada infeksi.

c. Vocal Fremitus menurun : vocal fremitus atau getaran di dada pada pemeriksaan palpasi dada ketika pasien mengucapkan “Sembilan Sembilan” dikarenakan adanya redaman getaran suara yang diakibatkan adanya efusi pleura apabila infeksi kuman sudah mencapai pleura.

d. Paru atas redup dan vesikobronkial : adanya lesi di apeks paru. Adanya infiltrate yang agak luas di daerah ini maka didapatkan perkusi yang redup dan terdengan vesikobronkial pada pemeriksaan auskultasi.

e. Paru bawah pekak, bising napas lemah, dan peru kanan tertinggal : paru bawah pekak, bising napas lemah, dan paru kanan tertinggal didapatkan apabila infksi dari kuman M. Tuberkulosis mencapai pleuran yang menyebabkan terjadinya efusi pleura.

4. Interpretasi dari pemeriksaan laboratorium :

a. LED meningkat : peningkatan LED merupakan indikasi adanya keadaan infeksi tertentu, pada kasus TB Paru contohnya. Peningkatan LED terutama karena adanya peningkatan kadar leukosit/sel darah putih. Apabila LED cukup tinggi akan dipastikan lebih lanjut penyebab infeksi dengan pemeriksaan penunjang lain, seperti pemeriksaan sputum maupun kultur dari kuman.

b. Hitung limfosit meningkat : peningkatang limfosit dikarenakan reaksihipersensitivitas selular (lambat) dikarenakan respon imun tubuh terhadap infeksi kuman M. Tuberkulosis.

c. Foto thoraks bayangan homogeny : segmen apeks dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang sering menimbulkan lesi yang menyebabkan terlihat homogeny dengan densitas yang lebih pekat.

5. Pasien terjangkit Tb Paru karena terinfeksi oleh M. Tuberkulosis biaanya terjadi secara inhalasi. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei. Untuk menegakkan diagnosis pasien dapat dilakukan berbagai cara melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya penurunan fremitus suara yang diakibatkan penebalan peura yang dapat mengarahkan diagnosis kea rah TB Paru. Pada pasien juga ditemukan adanya batuk darah atau hemoptoe yang dikarenakan pecahnya pembuluh darah di bronkus yang biasanya bersamaan dengan dikeluarkannya sputum.

6. Pengobatan TB terutama pemberian obat antimikroba dalam jangka waktu lama. Obat-obat ini juga dapat digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit infeksi. ATS (1994) menekankan tiga prinsip dalam pengobatan TB yang berdasarkan pada : (1) regimen harus termasuk obat-obatan multiple yang sensitive terhadap mikroorganisme, (2) obat-obatan harus diminum secara teratur, dan (3) terapi obat harus dilakukan terus-menerus dalam waktu yang cukup. Obat-obatan untuk pengobatan TB pada orang dewasa (Dosis dalam mg/kg) :

Nama Obat

Harian

Dua kali seminggu

Tiga kali seminggu

Obat Lini Pertama

Isoniazid (INH)

5 (300 mg)

Maks 15 (900 mg)

Maks 15 (900 mg)

Rifampin (RIF)

10 (600 mg)

10 (600 mg)

10 (600 mg)

Rifabutin (RFB)

5 (300 mg)

5 (300 mg)

Tidak diketahui

Piranizamid

15-30 (2 g)

50-70 (4 g)

50-70 (3 g)

Etambutol

15-25

50

25-30

Streptomisin

15 (1 g)

25-30 (1.5 g)

25-30 (1,5 g)

Obat Lini Kedua

Kapreomisin

15-30 (1 g)

-

-

Etionamid

15-20 (1 g)

-

-

Sikloserin

15-20 (1 g)

-

-

4. Hipotesis

1. Ada hubungan infiltrasi bakteri M. Tuberkulosis dengan TB Paru dan gejala yang menyertainya.

2. Pengobatan TB Paru yang tidak adekuat dapat menyebabkan Tuberkulosis Pasca Primer dan TB resisten obat.


5. Mind Mapping

6. Tujuan Pembelajaran

1. Fisiologi paru-paru

2. Etiologi TB Paru

3. Patofisologi TB Paru

4. Pemeriksaan penumjang TB Paru

5. Penatalaksanaan TB Paru

Saturday, August 7, 2010

Diabetes Melitus

Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik, dan penyakit menular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mandahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vascularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes.

Fisiologi Insulin dan Efek Metaboliknya
Insulin pertama kali diisolasi dari pankreas pada tahun 1922 oleh Banting dan Best. Mereka memperhatikan pasien diabetes parah dalam waktu hampir semalam yang memburuk dengan cepat dan meninggal, dibandingkan dengan orang yang hampir normal. Secara historis, insulin dihubungkan dengan ”gula darah”, dan ada benarnya karena insulin sangat berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat. Namun, kematian pada pasien diabetes biasanya disebabkan kelainan metabolisme lemak, yang menimbulkan keadaan seperti asidosis dan ateriosklerosis. Selain itu, pada pasien yang mengalami diabetes berkepanjangan, berkurangnya kemampuan untuk menyintesis protein akan menyebabkan kehilangan jaringan dan banyak kelainan fungsi sel. Oleh karena itu, jelaslah sudah bahwa pengaruh insulin terhadap metabolisme lemak dan protein, hampir sama besar dengan pangaruh insulin terhadap metabolisme karbohidrat.

Fisiologi Insulin Dalam Mengatur Metabolisme Glukosa
Karbohidrat terdapat dalam berbagai bentuk, terutama gula sederhana atau monosakarida, dan unit-unit kimia yang kompleks, seperti disakarida dan polisakarida. Karbohidrat yang sudah ditelan akan dicerna menjadi monosakarida dan diarbsorbsi, terutama dalam duodenum dan jejunum proksimal. Sesudah diarbsorpsi, kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara waktu dan akhirnya akan kembali lagi ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian bergantung pada hati yang mengekstraksi glukosa, menyintesis glikogen, dan melakukan glikogenolisis. Dalam jumlah yang lebih sedikit, jaringan perifer-otot dan adiposa-juga mempergunakan ekstrak glukosa sebagai sumber energi sehingga jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah.
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang digunakan oleh jaringan-jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologis beberapa hormon, yaitu hormon yang merendahkan kadar glukosa darah, atau hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah. Insulin merupakan hormon yang meurunkan kadar glukosa darah, dibentuk oleh sel-sel beta pulau Langerhans pankreas. Hormon yang meningkatnkan kadar glukosa darah, antara lain, glukagon yang disekresi oleh sel-sel alfa pulau Langerhans pankreas, epinefrin yang disekresi oleh medula adrenal dan jaringan kromafin lain, glukokortikoid yang disekresi oleh korteks adrenal, dan growth hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Glukagon, epinefrin, glukokortikoid, dan growth hormone, membentuk suatu pelawan mekanisme regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin.

Fisiologi Insulin Dalam Mengatur Metabolisme Lemak
Insulin mempunyai dua efek penting lain yang dibutuhkan untuk menyimpan lemak di sel-sel adiposa :
1. Insulin menghambat kerja lipase peka-hormon. Enzim inilah yang menyebabkan hidrolisis trigliserida yang sudah disimpan dalam sel-sel lemak. Oleh karena itu, pelepasan asam lemak dari jaringan adiposa ke dalam sirkulasi darah akan terhambat.
2. Insulin meningkatkan pengangkutan glukosa melalui membran sel ke dalam sel-sel lemak dengan cara yang sama seperti inssulin meningkatkan pengangkutan glukosa ke dalam sel-sel otot.
Bila tidak ada insulin, semua aspek pemecahan dan penggunaan lemak sebagai sumber energi akan sangat meningkat, inilah yang mengakibatkan peningkatan frekwensi lapar seorang (polifagia), tetapi dibarengi dengan penurunan berat badan karena penggunaan lemak sebagai sumber energi meningkat. Keadaan ini secara normal bahkan terjadi di antara waktu makan saat sekresi insulin minimum, namun menjadi sangat berlabihan pada keadaan diabetes melitus saat sekresi insulin hampir nol.

Etiologi
Penyebab diabetes yang utama adalah kurangnya produksi insulin (DM tipe I) atau kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (DM tipe II). Namun jika dirunut lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan DM.

Genetik atau Faktor Keturunan
DM sering diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan. Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks atau kelamin. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya (Maulana, Mirza:2008).

Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS)
Menyebabkan peningkatan produksi androgen di ovarium dan resistensi insulin serta merupakan salah satu kelainan endokrin tersering pada wanita, dan kira-kira mengenai 6 persen dari semua wanita, selama masa reproduksinya (Guyton and Hall, 2007).

Virus dan Bakteri
Virus penyebab DM adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta. Virus ini mengakibatkan destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi autoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun dalam sel beta. Sedangkan bakteri masih belum bisa dideteksi, tapi menurut ahli mengatakan bahwa bakteri juga berperan penting menjadi penyebab timbulnya DM (Maulana, Mirza, 2008).

Bahan Toksik atau Beracun
Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah alloxan, pyrineuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis jamur) (Maulana, Mirza:2008). Beberapa bahan-bahan yang juga dapat menyebabkan diabetes mellitus, antara lain :
1. Nutrisi
2. Kadar Kortikosteroid yang tinggi
3. Kehamilan diabetes gestational
4. Obat-obtan yang dapat merusak pancreas
5. Racun yang memengaruhi pembentukan atau efek dari insulin

Gaya Hidup
Penyebab utama diabetes di era globalisasi adalah adanya perubahan gaya hidup (pola makan yang tidak seimbang, kurang aktivitas fisik). Selain itu, adanya stress, kelainan genetika, usia yang semakin lama semakin tua dapat pula menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya penyakit diabetes. Penyakit ini dapat dicegah dengan merubah pola makan yang seimbang (hindari makanan yang banyak mengandung protein, lemak, gula, dan garam), melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit setiap hari (berenang, bersepeda, jogging, jalan cepat), serta rajin memeriksakan kadar gula urine setiap tahun (Sinaga, 2003).

2.4. Patofisiologi Diabetes Mellitus
Menurut Brunner dan Suddarth(2001), patofisiologi DM dibagi menjadi dua tipe, tipe I dan tipe II.

2.4.1. Diabetes Melitus Tipe I
Pada diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiper-glikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlabihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini dinamakan dieresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penu-runan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan seera makan (polifagia), akibat penurunnya simpanan kalori, gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.

2.4.2. Diabetes Melitus Tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yaitu yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi sel resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insuliin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini ter-jadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

2.5. Komplikasi
2.5.1. Ketoasidosis Diabetikum

Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan sering kencing, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius. Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering kencing dan haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.

2.5.2. Kaki Diabetik
Penyandang diabetes mellitus perlu memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan kakinya, karena diabetes dapat menimbulkan komplikasi yang dikenal dengan istilah kaki diabetik (diabetic foot). Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi diabetes yang masih luput dari perhatian. Padahal, konsekuensi dari kaki diabetik yang terlanjur memburuk dapat menyebabkan gangren dan mengarah pada tindakan amputasi.
Kaki diabetik merupakan komplikasi yang serius dan mahal dari diabetes. Meningkatnya prevalensi diabetes di dunia menyebabkan peningkatan kasus amputasi kaki karena komplikasi diabetes. Studi epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta amputasi dilakukan pada penyandang diabetes setiap tahunnya. Ini berarti setiap 30 detik ada kasus amputasi kaki karena diabetes di seluruh dunia.
Umumnya kaki diabetik didahului dengan adanya ulkus (luka). Hanya sekitar dua pertiga dari ulkus yang dapat sembuh dengan cepat, sisanya berakhir dengan amputasi. Rata-rata diperlukan waktu sekitar enam bulan untuk penyembuhan ulkus. Baik ulkus maupun amputasi memiliki dampak yang besar pada kualitas hidup penyandang diabetes, yakni terbatasnya kebebasan bergerak, terisolasi secara sosial, dan menimbulkan stres psikologis.
Kaki diabetik juga merupakan masalah ekonomi yang nyata, mengingat penyandang diabetes dengan kaki diabetik umumnya membutuhkan perawatan yang lama, rehabilitasi, biaya yang tidak sedikit, dan risiko amputasi yang besar.
Menurut Dr. dr. Aris Wibudi, SpPD selaku Ketua Umum PB PEDI (Perhimpunan Edukator Diabetes Indonsia), komplikasi kaki diabetik sebenarnya dapat dicegah. Dengan menerapkan strategi yang menggabungkan upaya pencegahan, perawatan jika terjadi ulkus pada kaki, penanganan medis yang sesuai, kadar gula darah yang terkendali, serta edukasi terhadap penyandang diabetes dan tenaga medis, dapat menurunkan kemungkinan risiko amputasi sampai 85%.
Terjadinya kaki diabetik tidak terlepas dari tingginya kadar gula (glukosa) darah pada penyandang diabetes. Tingginya kadar gula darah yang berkelanjutan dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan masalah pada kaki penyandang diabetes, yakni:
• Kerusakan saraf
Masalah pertama yang timbul adalah kerusakan saraf di tangan dan kaki. Saraf yang telah rusak membuat penyandang diabetes tidak dapat merasakan sensasi sakit, panas, atau dingin pada tangan dan kaki. Luka pada kaki dapat menjadi buruk karena penyandang diabetes tidak menyadari adanya luka tersebut. Hilangnya sensasi rasa ini disebabkan kerusakan saraf yang disebut sebagai neuropati diabetik. Neuropati diabetik terjadi pada lebih dari 50% penyandang diabetes. Gejala yang umum terjadi adalah rasa kebas (baal) dan kelemahan pada kaki dan tangan.
• Gangguan pembuluh darah
Masalah kedua adalah terjadinya gangguan pada pembuluh darah, sehingga menyebabkan tidak cukupnya aliran darah ke kaki dan tangan. Aliran darah yang buruk ini akan menyebabkan luka dan infeksi sukar sembuh. Ini disebut penyakit pembuluh darah perifer (pembuluh darah tepi) yang umum menyerang kaki dan tangan. Penyandang diabetes yang merokok akan semakin memperburuk aliran darahnya.
Kedua masalah di atas dapat menyebabkan terjadinya kaki diabetik. Ditambah lagi dengan rentannya penyandang diabetes terhadap risiko infeksi karena daya tahan tubuh yang menurun, akan semakin memperbesar risiko mengalami komplikasi kaki diabetik.
Sebagai gambaran, misalnya kaki anda terluka karena penggunaan sepatu yang sempit. Anda tidak menyadari dan tidak merasakan sakit karena adanya kerusakan saraf pada kaki anda. Selanjutnya, luka yang awalnya kecil itu akan terinfeksi. Pada penyandang diabetes, kadar gula dalam darah yang tinggi merupakan makanan bagi kuman. Kuman kemudian berkembang biak dan menyebabkan infeksi bertambah buruk. Hal ini diperparah dengan aliran darah kaki yang buruk sehingga memperlambat proses penyembuhan luka.
Infeksi yang tidak ditangani dengan segera dapat menyebabkan gangren. Pada gangren, kulit dan jaringan di sekitar luka tersebut akan mati (nekrotik), sehingga daerah di sekitar luka tersebut akan berwarna kehitaman dan menimbulkan bau. Untuk mencegah gangren meluas, dokter dapat mengambil tindakan operasi untuk memotong jari kaki atau bagian dari kaki yang terinfeksi. Pemotongan bagian tubuh ini dikenal dengan istilah amputasi.Diabetes merupakan penyebab umum non-traumatik kasus amputasi kaki.

2.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up), adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu :
• kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
• kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
• tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
• riwayat keluarga DM
• riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
• riwayat DM pada kehamilan
• dislipidemia (HDL <> 250 mg/dl
• pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena <>
2.7. Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya . Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional. 2.8. Penatalaksanaan Tujuan : 1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat. 2. Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM.Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin. 3. Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah pengelolaan. 4. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan perilaku. Pilar utama pengelolaan DM : 1. Edukasi 2. Perencanaan makan 3. Latihan jasmani 4. Obat-obatan Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu. Edukasi Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan: - makan makanan sehat; - kegiatan jasmani secara teratur; - menggunakan obat diabetes secara aman, teratur, dan pada waktu-waktu yang spesifik; - melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada; - melakukan perawatan kaki secara berkala; - mengelola diabetes dengan tepat; - mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan keterampilan; - dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan. Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi. Perencanaan makan Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada saat ini yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat, sedang istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan karbohidrat kerja cepat tidak digunakan lagi. Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes mendukung akan perlunya dimasukannya makanan yang mengandung karbohidrat terutama yang berasal dari padi-padian, buah-buahan, dan susu rendah lemak dalam menu makanan orang dengan diabetes. Banyak faktor yang berpengaruh pada respons glikemik makanan, termasuk didalamnya adalah macam gula: (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa), bentuk tepung (amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta komponen makanan lainnya (lemak, protein). Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dari berbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik, bila jumlah karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah total kalori dari makanan lebih penting daripada sumber atau macam makanannya. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut: Karbohidrat 60-70% Protein 10-15% Lemak 20-25% Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman. Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT = BB(kg)/TB(m2) Tabel 2. Klasifikasi IMT (Asia Pasific) Klasifikasi IMT (Asia Pasific) Lingkar Perut <90cm>90cm (Pria)
>80cm (Wanita)

Risk of co-morbidities

BB Kurang <18,5>23,0 :
- Dengan risiko : 23,0-24,9
- Obes I : 25,0-29,9
- Obes II : ≥ 30

Rendah
Rata-rata

Meningkat
Sedang
Berat
Rata-rata
Meningkat

Sedang
Berat
Sangat berat



Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%

Status gizi:
BB kurang bila BB <>120% BBI
Obat Hipoglikemik Oral (OHO) merupakan obat penurun kadar glukosa pada darah yang diresepkan oleh dokter khusus bagi diabetesei.
Obat Penurun Glukosa Darah bukanlah hormon insulin yang diberikan secara oral. OHO bekerja melalui beberapa cara untuk menurunkan kadar glukosa darah. Obat-obatan ini dapat membantu penyandang diabetes melitus untuk menggunakan insulinnya sendiri dengan lebih baik dan menurunkan pelepasan glukosa oleh hati. Terdapat beberapa macam OHO untuk mengendalikan glukosa darah penyandang diabetes.
Penyandang diabetes sebaiknya mengetahui dengan lengkap informasi nebgenai OHO yang diminumnya, mulai dari nama obatnya (nama, denerik, dan merk ), dosis, cara dan waktu meminumnya, cara kerja dan lama kerja OHO tersebut. Selain itu penyandang diabetes juga perlu mengetahui gejala terjadinya kadar glukosa darah rendah (hipoglikemia) dan cara mengatasinya.
Penyandang diabetes perlu untuk memperhatikan beberapa hal dalam kaitannya dengan OHO yang diresepkan oleh dokter:
• Jangan mengubah dosis ataupun merk obat tanpa izin dokter
• Mengikuti jadwal pemakaian obat secara tepat tiap hari
• Jangan menambah obat ekstra bila kadar glukosa darah tinggi
• OHO tetap diperlukan walaupun kadar glukosa darah sudah normal
• Dapat terjadi hipoglikemia, penyandang diabetes harus mengetahui cara mengatasinya
• Bila terjadi hipoglikemia, segera bertindak lalu kemudian hubungi dokter. Orang lanjut usia akan lebih mudah mengalami hipoglikemia, terutama bila mereka tidak akan atau bila fungsi hati dan fungsi ginjal teganggu, atau memakai obat lalin yang berinteraksi dengan OHO
• Menyampaikan kepada dokter mengenai obat lain yang diminum selain OHO
Pemilihan OHO
Pemberian OHO atau obat untuk menurunkan glukosa darah (table3) harus dipertimbangkan bila penyandang diabetes tidak dapat mencapai kadar glukosa darah yang normal atau mendekati normal dengan perencanaan makan dan olahraga teratu. Pertanyaannya adalah, obat manakah yang sesuai untuk penyandang diabetes? Dokter akan menjawab, pertanyaan tersebut dengan berbagai pertimbangan, termasuk diantaranya, kadar glukosa darah awal dan kadar glukosa darah yang diinginkan, usia dan berat badan penyandang diabetes, penyakit penyerta, kemungkinan kontradiksi terhadap pengobatan, kemampuan penyandang diabetes untuk merawat dirinya sendiri, tingkat pengetahuan penyandang diabetes akan diabetes, tingkat motivasi penyandang diabetes dan penerima penyandang diabetes akan obat yang bermacam-macam.
Jenis OHO
OHO saat ini terbagi dalam 2 kelompok:
1. Obat yang memperbaiki kerja insulin
2. Obat yang meningkatkan produksi insulin.
Obat-obatan seperti metformin, glitazone, dan akarbose-adalah obat-obatan kelompok pertama. Mereka bekerja pada hati, otot dan jaringan lemak, usus. Singkatnya mereka bekerja di tempat dimana terdapat insulin yang mengatur glukosa darah. Sulfonil, Repaglinid, Nateglinid dan insulin yang disuntikkan adalah obat-obatan kelompok kedua. Sulfonil, Repaglinid, Nateglinid meningkatkan penglepasan insulin yang disuntikkan menambah kadar insulin di sirkuliasi darah. Mekanisme kerja dari obat-obat tersebut diatas berbeda, oleh karena itu marilah kita coba bahas satu persatu:



Berdasarkan cara kerja, OHO dibagai menjadi 3 golongan :
A. Memicu produksi insulin
1. Sulfonilurea

Obat ini telah digunakan dalam menangani hipoglikemia pada penyandang diabetes melitus tipe 2 selama lebih dari 40 tahun. Mekanisme kerja obat ini cukup rumit. Ia bekerja terutama pada sel beta pankreas untuk meningkatkan produksi insulin sebelum maupun setelah makan. Sel beta pankreas merupakan sel yang memproduksi insulin dalam tubuh.

Sulfonilurea sering digunakan pada penyandang diabetes yang tidak gemuk di mana kerusakan utama diduga adalah terganggunya produksi insulin. Penyandang yang tepat untuk diberikan obat ini adalah penyandang diabetes melitus tipe 2 yang mengalami kekurangan insulin tapi masih memiliki sel beta yang dapat berfungsi dengan baik. Penyandang yang biasanya menunjukkan respon yang baik dengan obat golongan sulfoniurea adalah usia saat diketahui menyandang diabetes melitus lebih dari 30 tahun, menyandang diabetes diabetes melitus lebih dari 5 tahun, berat badan normal atau gemuk, gagal dengan pengobatan melalui pengaturan gaya hidup, perubahan pengobatan dengan insulin dengan dosis yang relatif kecil.

2. Golongan Glinid
Meglitinide merupakan bagaian dari kelompok yan gmeningkatkan produksi insulin (selain sulfonilurea). Maka dari itu ia membutuhkan sel beta yang masih berfungsi baik. Repaglinid dan Nateglinid termasuk dalam kelompok ini, mempunyai efek kerja cepat, lama kerja sebentar, dan digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah setelah makan. Repaglinid diserap secara cepat segera setelah dimakan, mencapai kadar puncak di dalam darah dalam 1 jam.

B. Meningkatkan kerja insulin (sensitivitas terhadap insulin)
1. Biguanid

Metformin adalah satu-satunya biguanid yang tersedia saat ini. Metformin berguna untuk penyandang diabetes gemuk yang mengalami penurunan kerja insulin. Alasan penggunaan metformin pada penyandang diabetes gemuk adalah karena obat ini menurunkan nafsu makan dan menyebabkan penurunan berat badan.
Sebanyak 25% dari penyandang diabetes yang diberikan metformin dapt mengalami efek samping pada saluran pencernaan, yaitu rasa tak nyaman di perut, diare dan rasa seperti logam di lidah. Pemberian obat ini bersama makanan dan dimulai dengan dosis terkecil dan meningkatkannya secar perlahan dapat meminimalkan kemungkinan timbulnya efek samping. Obat ini tidak seharusnya diberikan pada penyandang dengan gagal ginjal, hati, jantung dan pernafasan.
Metformin dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi. Obat-obatan oral mungkin gagal untuk mengontrol gula darah setelah beberapa saat sebelumnya berhasil (kegagagalan sekunder) akibat kurangnya kepatuhan penyandang atau fungsi sel beta yang memburuk dan / atau terjadinya gangguan kerja insulin (resistansi insulin). Pada kasus-kasus ini, terapi kombinasi metformin dengan sulfonilurea atau penambahan penghamba-glucosidase biasanya dapat dicoba. Kebanyakan penyandang pada akhirnya membutuhkan insulin.


2. Tiazolidinedion
Saat ini terdapat 2 tiazolinedion di Indonesia yaiturosiglitazon dan pioglitazon. Obat golongan ini memperbaiki kadar glukosa darah dan menurunkan hiperinsulinaemia (tingginya kadar insulin) dengan meningkatkan kerja insulin (menurunkan resistensi insulin) pada penyandang diabetes melitus tipe 2. Obat golongan ini juga menurunkan kadar trigliserida da asam lemak bebas.

3. Rosiglitazone (Avandia)
Dapat pula digunakan kombinasi dengan metformin pada penyandang yang gagal mencapai target kontrol glukosa darah dengan pengaturan makan dan olahraga. Pioglitazone (Actos), juga diberikan untuk meningkatkan kerja (sensitivitas) insulin.
Efek samping dari obat golongan ini dapt berupa bengkak di daerah perifer (misalnya kaki), yang disebabkan oleh peningkatkan volume cairan dalam tubuh. Oleh karena itu maka obat goolongan ini tidak boleh diberikan pada penyandang dengan gagal jantung berat. Selain itu, pada penggunaan obat in ipemeriksaan fungsi hati secara berkala harus dilakukan.

C. Penghambat enzim alfa glukosidase
Penghambat kerja enzim alfa-glukosidase seperti akarbose, menghambat penyerepan karbohidrat dengan menghambat enzim disakarida di usus (enzim ini bertanggung jawab dalam pencernaan karbohidrat). Obat ini terutama menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Efek sampingnya yaitu kembung, buang angin dan diare. Supaya lebih efektif obat ini harus dikonsumsi bersama dengan makanan.

Obat ini sangat efektif sebagai obat tunggal pada penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan kadar glukosa darah puasanya kurang dari 200 mg/dL (11.1 mmol/l) dan kadar glukosa darah setelah makin tinggi. Obat ini tidak mengakibatkan hipoglikemia, dan boleh diberikan baik pada penyandang diabetes gemuk maupun tidak, serta dapat diberikan bersama dengan sulfonilurea, metformin atau insulin.

Dosis Pemberian OHO
Setelah obat tertentu dipilih untuk penyandang diabetes, biasanya pemberian obat dimulai dari dosis terendah. Dosis kemudian dinaikkan secara bertahap setiap 1-2 minggu, hingga mencapai kadar glukosa darah yang memuaskan atau dosis hampir maksimal. Jika dosis hampir maksimal namun tidak menghasilkan kontrol kadar glukosa darah yang memadai, maka dipertimbangkan untuk diberikan obat kombinasi atau insulin. Tidak ada keuntungan menggunakan dua OHO dari golongan yang sama secara bersamaan.

Friday, July 2, 2010

Missed


is it over?
can’t we work it out?
just got here I could stay with you

every night i talk to the stars pretending its you
it acts just like you
far away and never replies to my questions
whats the sense of wishing for something when I always just wish it away?

I cry for the time that you were mine
I cry for the memories I've left behind
I cry for the pain, the lost, the old the new
I cry for the times I thought i had you

I’m sitting on the floor
In the dark of my room
I’m waiting for you
because…
I miss you..
I miss your touch
I miss your kisses
I miss your hugs
I miss your smile
I miss your eyes
I miss your warmth
I miss your embrace
I miss your laugh
I miss your glimpse
I miss your voice
but most of all
I miss your love…

Thursday, January 28, 2010

HIV


Asal Mula HIV
Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III).
Kedua spesies berawal di Afrika barat dan tengah, melompat dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis. HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies chimpanzee, Pan troglodyte troglodyte. HIV-2 melompat spesies dari sebuah strain SIV yang berbeda, ditemukan dalam sooty mangabeys, monyet dunia lama Guinea-Bissau.


Pohon filogenetik SIV dan HIV

HIV adalah anggota dari genus lentivirus, bagian dari keluarga retroviridae yang ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari sel-host awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/RNA. Dua spesies HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih "virulent" dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika Barat.

HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai bulatan-bulatan kecil pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.


HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung merusak sel T CD4+, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh berfungsi baik. Jika HIV membunuh sel T CD4+ sampai terdapat kurang dari 200 sel T CD4+ per mikroliter (μL) darah, kekebalan selular hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV dilanjutkan dengan infeksi HIV laten klinis sampai terjadinya gejala infeksi HIV awal dan kemudian AIDS, yang diidentifikasi berdasarkan jumlah sel T CD4+ di dalam darah dan adanya infeksi tertentu. AIDS merupakan bentuk terparah akibat infeksi HIV.

Morfologi
Virus yang memiliki konstruksi kompleks dan terdiri atas sebuah amplop, sebuah nukleokapsid, sebuah nukleoid, dan sebuah protein matriks. Virus terselubung, spherical hingga pleomorfi dalam bentuk dan ukuran 80-100 nm dalam diameter. Proyeksi permukaan kecil atau tonjolan tak terlihat yang terdispersi rapat menyelubungi permukaan. Proyeksi permukaan memiliki panjang 8 nm. Bagian pokok tepinya berbentuk silindris, atau berbentuk kerucut rata. Nukleoid konsentris.

Anemia pada Ibu Hamil


Anemia dapat didefinisikan sebagai kondisi dengan kadar Hb berada di bawah normal. Di Indonesia Anemia umumnya disebabkan oleh kekurangan Zat Besi, sehingga lebih dikenal dengan istilah Anemia Gizi Besi. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi selama kehamilan. Ibu hamil umumnya mengalami deplesi besi sehingga hanya memberi sedikit besi kepada janin yang dibutuhkan untuk metabolisme besi yang normal. Selanjutnya mereka akan menjadi anemia pada saat kadar hemoglobin ibu turun sampai di bawah 11 gr/dl selama trimester III.

Kebutuhan Fe bayi = 300 mg, Fe yang dibutuhkan ibu untuk mencegah anemia = 500 mg, selama kehamilan dibutuhkan 1000 mg Fe untuk keperluan janin, plasenta dan hemoglobin ibu sendiri.


Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan, hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi. Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur juga lebih besar.

Wednesday, January 27, 2010

Steroid Anabolic (Doping)


Penggunaan obat dalam jumlah tertentu yang melebihi batas atau digunakan secara tidak wajar dengan tujuan mempertinggi prestasi ialah suatu penyalahgunaan obat (drug abuse) atau biasa disebut dengan doping. Penggunaan doping dilarang oleh hampir seluruh induk organisasi olahraga karena dinilai tidak fair dan dapat membahayakan jiwa si pemakai.

Banyak cara yang biasanya dipakai oleh para olahragawan sebagai doping, salah satunya dengan penggunaan anabolic-androgenic-steroids. International Olympic Committee (IOC) melarang penggunaan zat ini sejak tahun 1976. Pengonsumsian anabolic-androgenic-steroids. International atau biasa disebu Steroid Anabolik (SA) adalah metode penggunaan doping yang paling luas penggunannya. Zat ini biasa digunakan oleh para olahragawan pada bidang olahraga yang mengutamakan power seperti bina raga, lari, dan angkat besi.


Pengawasan dalam penggunaan steroid anabolic sangat sulit dilakukan, apalagi pada kegiatan olahraga skala kecil maupun menengah. Pengawasan terhadap penggunaan steroid anabolic hanya dilakukan pada kegiatan olahraga skala besar karena membutuhkan biaya yang cukup besar dan membutuhkan kerjasama dengan organisasi yang memiliki kekuatan untuk melakukan pengawasan.

Kegiatan olahraga angkat beban banyak ditekuni oleh masyarakat biasa kerena ingin memiliki penampilan fisik yang bagus dan ingin memperbesar massa otot. Kebanyakan diantara mereka menggunakan steroid anabolic karena tidak sabar dan ingin melalui jalan pintas untuk memperbesar otot.